Sekarang Dharma Gita sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan pemerintah melalui PHDI, secara rutin melaksanakan UTSAWA DHARMA GITA.
Utsawa Dharma Gita merupakan ajang perlombaan untuk menjalin hubungan yang cinta kasih sesama manusia di seluruh wilayah tanah air. Adapun yang biasa digelar dalam Utsawa Dharma Gita ialah membaca sloka, palawakya, dan tembang tembang kerohanian serta hal hal lain sebagai ciri khas budaya daerah masing masing yang dijiwai oleh agama Hindu.
Untuk memudahkan membaca dan penerapan Dharma Gita perlu kiranya diketahui nada dan not. Nada adalah suara merdu yang dihasilkan oleh getaran benda yang teratur tiap detiknya. Dikenal ada 7 nada menurut tinggi rendahnya nada yaitu:
Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si.
Nada tersebut disebut dengan dyatonic, sedangkan not adalah gambaran nada.
Dalam bahasa Bali not diistilahkan dengan Titi Suara. Menurut Titi Suara Bali, not dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
*. Tangga nada pelog.
*. Tangga nada selendro.
Tangga nada pelog dan selendro merupakan dasar Gendingan. Laras pelog dan selendro di provinsi Bali dipopulerkan sejak berdirinya Konsenvatori. Dalam ilmu pengetahuan musik modern, tangga nada pelog dan selendro dikenal dengan nama tangga pentatonik yaitu tangga nada yang memiliki lima nada pokok. Nada nada dalam musik diberi nama yang diambil dari abjad yaitu:
a, b, c, d, e, f, dan g.
Berdasarkan nada nada tersebut nada nada disusun menjadi
c, d, e, f, g, a, b, dan c.
Tanda notasi pada tembang seperti Gendingan, pupuh, maupun kidung umumnya menggunakan simbol simbol seperti di atas yakni panganggening aksara Bali. Pada dasarnya Titi Suara (Laras) atau tangga nada pelog maupun selendro terdiri atas lima simbol pokok yaitu:
*. Taleng.
*. Suku.
*. Cecek.
*. Ulu.
Apabila dibaca kelima simbol itu menjadi dong, deng, dung, dang, dan ding.